STRATEGI ADAPTASI EKOLOGIS TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN
DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
WILAYAH I LEBAK-BANTEN
(Catatan Hasil Penelitian)
Moh. Muzayyin
Tanggal : 07 September 2010
Desa Ciladaeun adalah sebuah desa yang terletak di sekitas TNGHS. Dengan luas sekitar 734 Ha, kurang lebih 25%-nya masuk ke dalam taman nasional. Jumlah penduduk 2917 dengan 676 KK. Tingkat KK miskin cukup tinggi, yaitu 315 KK-hampir setengahnya (sumber: Kades)
Dengan berlokasi di Kampung Ciladaeun, 3 orang responden pada dasarnya mempunyai pengalaman menjalani kehidupan sehari-hari yang sama. Oleh karena itu, informasi-informasi yang didapat mempunyai kesamaan satu dengan lain.
Rata-rata penduduk makan 2-3 kali perhari. Adapun yang 2 kali adalah karena tergantung dengan kesibukan pekerjaan masing-masing. Dengan segala kesederhanaan lingkungan kampung, responden dapat menghidangkan telur 1-2x/minggu, tanpa dapat menyediakan daging maupun ikan. Adapun ikan hanya sebatas pada ikan asin yang harganya murah. Selain itu responden mengonsumsi sayuran sebagai pelengkap gizi keluarga.
Kondisi rumah seorang responden adalah rumah yang berlantai dan berdinding dari anyaman bambu. Dengan kondisi dalam rumah yang kurang tertata sehingga menambah kesan sangat memprihatinkan. Keluarga ini termasuk dalam KS 3. adapun kondisi kediaman dua responden lainnya adalah semi permanen berupa lantai semen dan dinding bata yang tingginya sekitar 40 cm. Sisanya adalah berdinding papan yang sudah tidak terlihat warna catnya. Dari ketiganya, berdasarkan perhitungan, luas ketiga rumah tersebut tidak memenuhi batas persyaratan, yaitu kurang dari 8 m2.
Masyarakat Kampung Ciladaeun sudah meskipun berada di pelosok tapi sudah menggunakan fasilitas kesehatan modern, seperti jika ada anggota keluarga yang sakit maka dibawa ke balai pengobatan atau diobati dengan obat-obatan kimia yang tersedia di warung terdekat. Ada sebagian warga yang selain menggunakan jasa dokter juga meracik ramuan sendiri yang bahannya di dapat dari talun dan hutan namun hanya sebagian kecil saja. berdasarkan hasil wawancara pun dikatakan bahwa cara pengobatan disesuaikan dengan situasi keuangan dan seberapa parah penyakit yang diderita.
Berkaitan dengan sandang atau pakaian yang dikenakan, responden menjawab kadang-kadang membeli baju, itupun jika mempunyai uang, kalau pun tidak, yang diusahakan terlebih dahulu adalah anak-anak.
berdasarkan
Semua kriteria responden adalah berpendidikan sampai SD bahkan ada yang tidak sampai tamat. Oleh karena itu dalam hal kemampuan baca tulis latin, responden sebagian ada yang sudah bisa tapi sebagian yang lain mengaku masih tersendat-sendat. Yang perlu ditekankan adalah bahwa dalam setiap keluarga atau rumah pasti ada kemungkinan terdapat orang tua yang tidak sekolah sehingga hal ini dapat membuat hasil penelitian menjadi sedikit kabur.
Dari ketiga keluarga yang diwawancarai, terlihat fakta bahwa anggota keluarga tidak ada yang meneruskan pendidikan sampai SMP, dan kebanyakan adalah tidak tamat SD. Anak yang berusia sampai 12 tahun hanya dicukupkan sampai sekolah dasar saja. sedangkan yang berusia 15 tahun ke atas sudah mulai bekerja membantu orang tua, diam di rumah, dan ada pula yang bekerja di kota besar namun bergerak pada bidang nonformal yang tidak tetap.
Pengajian dibagi ke dalam 3 jenis, yaitu pengajian kaum ibu, kaum bapak, dan anak-anak. Berkaitan dengan nilai-nilai religius, dari beberapa orang yang ditemui oleh penulis, masyarakat setempat melaksanakan ibadah tidak teratur, meskipun bulan Ramadhan tapi masih orang tua yang tidak berpuasa.
Dari ketiga keluarga, tidak ada yang mempunyai tabungan di bank, adapun mengenai celengan atau uang simpanan kecil para responden memberikan informasi yang tidak jelas. Karena berdasarkan pengakuan dari semua responden menyatakan kesusahan dalam mengelola keuangan karena pendapatan dari mata pencaharian pun terkadang tidak mencukupi kebutuhan.
Meskipun serba kekurangan, masyarakat kampung ini berusaha untuk mengeluarkan “perelek” sebesar 1 liter yang ditampung di Sekretaris Rukun Tetangga.
Fasilitas penerangan adalah dari hasil “nyolok” yang dialirkan ke beberapa rumah. Selain itu masyarakat menyelang air. Pun berkaitan dengan fasilitas air bersih, masyarakat menyelang. Selain itu adaptasi terhadap perkembangan teknologi alat-alat rumah tangga tidak merata. Televisi, radio adalah peralatan elektronik yang terlihat selama penelitian.
Pekerjaan pokok para warga kampung adalah buruh, bertani dan berkebun. Mayoritas penduduk di sini adalah menanam pisang dengan jenis yang berbeda-beda. Adapula yang terlihat lalu-lalang membawa kayu dan menjemur padi. Lahan padi memang terlihat di beberapa titik. Dengan semakin bertambahnya pengetahuan masyarakat dalam penggalian emas, pada kaum pria bekerja menjadi gurandil di penambangan liar yang ada di kawasan TNGHS.
Desa ini termasuk kawasan yang rawan dengan konflik vertikal antara masyarakat dengan pengelola TNGHS. Oleh karena itu informasi yang berkaitan dengan mata pencaharian sebagai “gurandil” sangat sedikit sekali. Bahkan terkesan menutupi bahwa ada praktik ilegal penggalian emas di TNGHS oleh masyarakat. Bahkan seorang KK hanya berujar bahwa jika sedang mencari emas tidak tahu apakah lokasi penggalian itu di dalam atau di luar TNGHS. Hal ini membuat “blur” karena kemungkinan responden tidak mengatakan yang sebenarnya.
Untuk rumah yang berada di dekat aliran sungai dalam beberapa bulan belakangan ini sudah terjadi banjir sebanyak dua kali.
Karena bertani pisang adalah kebanyakan yang digeluti penduduk, oleh karena itu berdasarkan penuturan responden merasa sedikit terpengaruh dengan berubahnya musim menjadi tidak menentu. Penduduk menanam padi 2x dalam setahun. Namun kebanyakan karena letak sawah berada di kaki bukit, maka pengairan didapat dari selokan biasa yang mengalir dari hutan.
Aplikasi teknologi dalam kehidupan sehari-hari memang sudah cukup baik untuk ukuran kampung, ini terlihat dari adanya ponsel, televisi, rice cooker, penggilingan padi dan lainnya. Adapun berkaitan dengan perbedaan kepemilikan sumber daya memang terlihat adanya ketimpangan antara yang mampu dan kurang mampu. Ada penduduk yang hanya mengandalkan penghasilan dari bertani biasa dan adapula yang bertambang emas. Pada umumnya yang mempunyai pekerjaan “gurandil” memiliki penampilan fisik rumah yang lebih tertata apik dibanding dengan lainnya. Bahkan ada yang mempunyai bangunan permanen mewah. Selain itu ada pula yang menjadi TKI di luar negeri.
Dalam gaya hidup dan kebudayaan, para penduduk sebagian ada yang mulai mengikuti penampilan ke-kota-an, hal ini sangat terlihat jelas terutama pada orang pria-wanita yang usianya masih muda.
Kerjasama dan gotong royong masih ada dan terus dilaksanakan oleh para penduduk. Sikap senasib dan sepenanggungan ini terutama terlihat dari penuturan responden yang menyatakan masih seringnya terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan.
Ada sebagain penduduk yang menggarap tanah bengkok untuk di kelola dengan sistem paro. Selain itu tanah bengkok juga ada yang dibangun perumahan penduduk. Tiap keluarga membayar uang sewa per tahun atau jika tidak dalam bentuk uang maka disubstitusi dengan beras atau padi.Kerjasama menjalin hubungan dengan pedagang sangat kuat.
Dalam sistem pengaturan hutan, pada umumnya penduduk mengetahui letak TNGHS. Area pertambangan emas liar tersebar, dan ini tentunya ilegal secara hukum. Kepala Desa pun membiarkan hal itu terjadi, karena pertimbangan bahwa jika mereka dihentikan akan bagaimana dengan pendapatan nafkahnya. Entah sengaja berbohong atau tidak, ada responden yang mengaku apakah galian emas yang dia ambil apakah termasuk ke dalam TNGHS atau tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar