Moh. Muzayyin
Bogor, Indonesia
5 Septembr 2010.
Lokasi : Masyarakat Kp. Citalahab Desa Malasari Kec. Nanggeung Kab. Bogor
Objek : Masyarakat Kampung Konservasi TNGHS
Kampung Citalahab merupakan sebuah perkampungan kecil yang terletak di dalam kawasan TNGHS. Pada umumnya, masyarakat menggantungkan sumber nafkah dari hasil menjadi buruh pemetik teh di perkebunan Nirmala. Semua penduduk beragama Islam. Untuk anak usia sekolah para orang tua berusaha menyekolahkan anak-anaknya di SD dan di SMP Terbuka. Sangat jarang yang sampai ke tahap SMA, tapi ada pula yang sudah menjadi sarjana. Masyarakat yang berusia ≥20 tahun hanya berpendidikan SD, dan banyak pula yang berusia lebih dari itu tidak tamat SD, oleh karena itu ada saja anggota keluarga yang sudah berumur tidak bisa membaca huruf latin.
Para penduduk makan 2-3 kali sehari tergantung keinginan, jadi tidak ada paksaan dari kepala keluarga kepada anggota keluarganya untuk makan bersama, siapa yang lebih dulu lapar, dia boleh makan sesuai keinginan. Dalam hal sandang, lebih banyak masyarakat membeli baju baru pada saat menjelang hari raya Iedul Fitri. Minimal 1 kali dalam setahun. Ada penjual kredit yang berkeliling menjual pakaian. Para orang tua lebih cenderung mementingkan kebutuhan baju anak-anaknya. Dalam aktivias di dalam rumah, anggota keluarga memakai pakaian sederhana seadanya, kecuali untuk sekolah mempunyai seragam tersendiri,dan pula untuk bekerja di perkebunan, masyarakat memakai pakaian khusus yang serba tutup.
Pengobatan modern sudah tersedia di sekitar kampung ini walaupun jika ditempuh jalan kaki jaraknya cukup jauh. Namun apabila ada anggota keluarga yang sakit sambil diobati dengan obat-obatan kimia dari warung, sebagian ada yang meminta “air doa/jampi” ke sesepuh setempat. Dalam kondisi yang darurat dan penyakit yang parah, meskipun terletak di Kec. Nanggung Kab. Bogor, masyarakat cenderung mendatangi balai pengobatan yang ada di wilayah Kab. Sukabumi, seperti Kabandungan, Parakansalak, Parungkuda, dan Cibadak. Perlu diketahui bahwa di Cibadak terdapat RSUD Sekarwangi. Berdasarkan penuturan marasumber, terkadang ada ibu hamil yang sudah tidak bisa ditangani oleh “Mak Beurang” dibawa ke Sukabumi. Tapi karena jauhnya jarak, sehingga melahirkan di tengah jalan. Jadi alternatif memilih sarana pengobatan disesuaikan dengan situasi dan kondisi penyakit dan keuangan.
Selain menjadi buruh pemetik teh, banyak pula yang memelihara ayam kampung. Juga sebagian ada yang mempunyai kolam ikan. Oleh karena itu, rata-rata 1-2 kali/minggu anggota keluarga menikmati telur yang dibeli dari warung. Kalupun ikan asin merupakan lauk yang sudah biasa dikonsumsi. Keluarga menghidangkan daging atau masakan yang terbilang “istimewa” dalam menghadapi hari besar keagamaan. Juga apabila ada tamu/pengunjung/wisatawan yang datang mereka menghidangkan makanan yang lain dari biasanya untuk menyambut para tamu.
Rumah berbentuk panggung yang lantainya dari papan. Adapun “talupuh (anyaman bambu)” untuk ruang tertentu, seperti dipan dapur. Dinding bilik dan juga ada yang papan pula. Hanya ada 1 rumah yang sudah permanent. Dalam setiap rumah mayoritas mempunyai kamar yang dikosongkan. Malahan ada masyarakat yang meskipun rumahnya panggung namun menyediakan kamar mandi yang dikeramik dan bertoilet duduk.
Dari semua responden, tidak ada yang mempunyai tabungan di Bank, selain karena kesulitan ekonomi, pemukiman yang terpencil merupakan salah satu penyebab utamanya. Jika pun menabung hanya di taruh ke dalam wadah saja. Untuk mendapatkan informasi masyarakat mengandalkan radio dan televisi bagi yang punya. Itu pun dinyalakan dengan tujuan awal mencari hiburan musik atau tontonan. Sesuai dengan medan yang berbukit dan berbatu, beberapa kepala keluarga dapat mengendarai sepeda motor.
Dalam upaya meningkatkan pengetahuan agama, para ibu mengikuti pengajian setiap hari minggu pagi, dan para bapak para malam jum’at. Sedangkan anak-anak mengikuti pengajian setiap ba’da maghrib di mushola. Meskipun demikian, berdasarkan hasil pengamatan, kesadaran untuk melaksanakan ajaran agama tidak sepenuhnya dilaksanakan, hal ini terlihat dari sangat kurangnya kontrol sosial terhadap anggota masyarakat yang bermain dan bersinggungan dengan anjing.
“Perelek” dikeluarkan setiap bulannya sebanyak 2 liter beras dan sebagai substitusi Rp.10.000,- per KK.
Kampung Citalahab belum teraliri listrik PLN. Semenjak beberapa tahun lalu ada yang menyumbangkan turbin pembangkit listrik yang dirangkai di aliran sungai dengan kisaran watt yang berubah-ubah antara 1000-3000 watt. Sebuah turbin yang 1000 watt dialirkan ke enam rumah. Oleh karena itu peralatan elektronik sebagian warga rusak seperti tv dan magic jar. Oleh karena itu sekarang memakai cara lama yaitu di tungku.
Jika kampung daerah lain suka terlihat tempat pemandian dan mencuci umum di pinggiran aliran sungai, tapi hal tersebut berbeda dengan yang terjadi di kampung Citalahab ini. Masyarakat sudah sangat jarang menggunakan air sungai karena sudah tercemar oleh kotoran limbah kerbau dari hulu. Oleh karena itu sebagai solusi dalam memenuhi kebutuhan MCK masyarakat menyelang dari mata air yang jaraknya sekitar 1 km.
Masyarakat Kampung Citalahab merupakan sudah bermukim dari dulu. Sebagai penduduk asli, meskipun berada dalam kawasan TNGHS tetapi pihak pengelola mengusir atau mengevakuasi penduduk. Di sini masyarakat tidak ada yang mempunyai sertifikat tanah, karena sudah barang tentu setiap jengkal tanah adalah termasuk taman nasional. Tetapi bangunan rumah tetap hak milik masyarakat. Oleh karena itu semenjak ditetapkannya perluasan kawasan TNGHS masyarakat di Citalahab tidak terkena dampak yang begitu besar.
Konflik pernah terjadi ketika ada warga yang menebang kayu dari TNGHS, setelah dipanggil dan diperingatkan secara tegas, sampai sekarang belum terulang kejadian serupa. Dengan adanya salah seorang warga yang menjadi pegawai honorer di TNGHS semakin memperkecil ruang konflik.
Antara pengelola dengan masyarakat terjadi hubungan yang saling menguntungkan. Di satu sisi masyarakat tidak perlu pindah, dan disisi lainnya masyarakat menjadi pengontrol kawasan sekitar TNGHS dan menjadi kepanjangan tangan dari petugas jagawana. Masyarakat merasa bersyukur karena dengan dibukanya sebagian TNGHS manjadi kawasan ekowisata terdapat perubahan dalam bidang penghasilan, gaya hidup, wawasan keilmuan, dan lainnya. Melalui kegiatan yang dimotori oleh Yayasan Ekowisata Halimun dari tahun 1996-2002, masyarakat dibekali keterampilan dalam teknis guide, pengelolaan homestay, teknis menjamu tamu dan segala hal yang diperlukan masyarakat dalam ekowisata.
sampai saat ini belum pernah terjadi bencana alam seperti longsor maupun banjir, namun yang menjadi pengganggu adalah hama babi hutan yang merusak tanaman warga. Area persebaran hewan liar memang menyempit dengan adanya perkebunan teh di tengah kawasan TNGHS.
Kepadatan penduduk di kampung ini dibatasi sampai 30 KK. Hal ini mengingat apabila semakin banyaknya masyarakat yang bermukim, maka sedikit banyak akan berdampak negatif terhadap keseimbangan ekologis. Sampai sekarang bangunan rumah yang ada baru 17 buah. Bagi warga yang akan membuat bangunan baru harus atas izin dari pengelola TNGHS.
Berdasarkan apa yang dirasakan oleh masyarakat, tidak banyak terjadi perubahan yang berarti di kawasan taman nasional ini, hal ini karena didukung oleh masyarakat yang kooperatif terhadap program pengelolaan pelestarian hutan. Misalnya jika ada kegiatan yang mencurigakan di kawasan hutan, maka secara rahasia dilaporkan oleh masyarakat kepada petugas jagawana.
Kondisi musim yang tidak menentu tidak begitu berpengaruh. Pada umumnya mata pencaharian sebagai buruh pemetik teh, maka bertani dan bersawah merupakan alternatif lain yang digunakan sebagian kecil warga dalam mencari nafkah. Hal ini disebabkan karena terbatasnya akses masyarakat untuk membuka lahan dan sepanjang pukuk 06.00 – 14.00 WIB masyarakat berada di perkebunan.
Masyarakat menggunakan peralatan teknologi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan finansial. Televisi, radio, maupun ponsel bukan merupakan hal baru. Petani menggunakan traktor yang disewa untuk membajak sawahnya. Karena hubungan masyarakat lokal dengan para wisatawan yang sering berkunjung mengubah pola pikir yang kini terlihat sedikit mengikuti gaya “ke-kota-an”. Pada waktu proses wawancara saya selaku surveyor memakai Bahasa Sunda halus untuk berkomunikasi. Berdasarkan pengakuan salah seorang responden saat diwawancara, lebih nyaman menggunakan Bahasa Indonesia dibandingkan dengan Bahasa Sunda. Selain itu, untuk beberapa orang tertentu sudah tidak asing lagi menggunakan gaya bahasa ilmiah.
Dari hasil wawancara, masyarakat terkadang kekurangan karena jumlah pegeluaran lebih besar dari pendapatan keluarga. Untuk beradaptasi dengan kondisi demikian masyarakat dari dulu berpola hidup sederhana. Ketimpangan atau perbedaan kepemilikan sumber daya tidak mencolok, terlihat dari tipe dan kebiasaan penduduk yang merasa bahwa semua masyarakat sama saja. Namun ada satu KK yang paling “sugih” dengan rumah permanen dan memiliki mobil pribadi.
Berkat pelatihan dan beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat luar (wisatawan), selain menjadi buruh, masyarakat di sini berkesempatan menjadi Guide dan menjadikan rumah masing-masing menjadi homestay. Musim kunjungan wisatawan lokal antara bulan Juni sampai Januari, sedangkan wisatawan mancanegara dari bulan Juni sampang dengan Agustus. Tarif homestay antara Rp.70.000-Rp.100.000.-/hari.
Sebagaimana pada umumnya di perkampungan, masyarakat Citalahab masih mempertahankan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan saling membantu antara yang satu dengan lain. Seperti dengan adanya dana sosial dalam bentuk “perelek” dan kerja bhakti pembangunan jalan setapak. Seperti yang dituturkan oleh para warga, kadang jika kondisi keuangan keluarga sedang menipis, maka meminjam ke keluarga dan tetangga yang lain adalah sesuatu yang biasa. Bahkan tidak sedikit yang menghutang keperluan sehari-hari ke warung sekitar.
Konsistensi masyarakat dalam perlindungan ekosistem di TNGHS memang sangat besar. Aturan yang ketat dari pemerintah dan dampak positif langsung yang dirasakan masyarakat membantu menjaga keberlangsungan kehidupan hayati di taman nasional terluas di Jawa ini. Kemiskinan dan penetrasi budaya kota yang materialis sudah mulai tumbuh seiring ramainya peminat ekowisata. Hal ini merupakan salah satu faktor kunci yang membentuk pola kehidupan masyarakat Citalahab dalam beradaptasi dengan alam, kebutuhan, dan perkembangan zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar