Pengurangan angka kemiskinan telah menjadi
“top priority” dalam pembangunan internasional, namun kemiskinan dan juga
kesenjangan masih tetap menjadi persoalan yang belum bisa dipecahkan secara
memuaskan.
Di beberapa kawasan, memang terjadi laju
pengurangan kemiskinan yang signifikan,
tapi di tempat-tempat lain, seperti kawasan sub-Sahara Afrika pengurangan laju
kemiskinan hampir stagnan. Ini terjadi karena wilayah-wilayah tersebut kurang
menarik bagi investasi sehingga pertumbuhan ekonomi relatif kecil.
Bank Dunia melaporkan bahwa lebih dari 80%
penduduk dunia hidup di negara-negara di mana kesenjangan semakin lebar, dan
UNICEF melaporkan bahwa 24.000 bayi meninggal setiap harinya karena kemiskinan.
Hampir semua pemerintahan, lembaga
internasional, dan juga banyak pihak di dunia menganut pandangan orthodok dalam
usahanya mendefinisikan kemiskinan. Menurut konsepsi orthodok, kemiskinan
dilihat sebagai situasi di mana orang-orang tidak mempunyai uang yang cukup
untuk membeli makanan atau kebutuhan-kebutuhan dasar mereka secara memuaskan,
dan seringkali kondisi ini dimasukkan ke dalam siatuasi un-or underemployed
(Caroline Thomas, 2005). Barangkali, cara pandang inilah yang mendorong
pemerintahan SBY untuk memberikan cash money kepada masyarakat miskin sebagai
kompensasi atas kenaikan bahan bakar minyak (BBM).
Piven dan Cloward (1993) dan juga Swanson
(2001) mendefinisikan kemiskinan berhubungan dengan kekurangan materi,
rendahnya penghasilan, dan adanya kebutuhan sosial. Lebih lanjut David Cox
(2004) mengemukakan beberapa dimensi kemiskinan yang dikategorikan berdasar
akar penyebab munculnya kemiskinan. Pertama, kemiskinan yang disebabkan
globalisasi. Kedua, kemiskinan akibat pembangunan. Ketiga, kemiskinan sosial.
Keempat, kemiskinan konsekuensial.
Structural Adjustment Programs (SAPs) dan
Kemiskinan
Structural Adjustment Programs (SAPs) yang
didesakkan IMF dan Bank Dunia menjadi penyebab menajamnya kemiskinan dan
kesenjangan. SAPs ini bersandar pada ideologi neoliberal. Ada dua penyebab
mengapa neoliberalisme dianggap sebagai biang kegagalan pembangunan sebagaimana
selama ini sering ditimpakan kepada negara-negara sedang berkembang. Pertama,
basis neoliberal adalah kompetisi. Padahal, kompetisi hanya akan berlangsung
secara adil jika masing-masing partisipan mempunyai kapasitas dan start yang
sama. Ideologi pasar bebas neoliberalisme tidak pernah mempersoalkan dari mana
sebuah industri berangkat, dan sudah pada taraf seperti apakah industri itu.
Akibatnya, yang menang akan menangguk keuntungan besar, sedangkan yang kalah
akan terus merugi.
Kedua, adalah pembelaan atas pasar
telah membuat peran negara dalam pembangunan menjadi sedemikian marginal.
Konsekuensi dari pandangan ini membuat negara tidak diizinkan campur tangan
dalam perekonomoan karena pasarlah satu-satunya mekanisme paling baik dalam
mendorong produksi, distribusi, dan konsumsi. Peran negara diamputasi, padahal
hanya negara yang mempunyai sumber daya untuk menangai krisis apabila terjadi
dan memiliki hokum konstitusi dan mekanisme demokratis bagaimana seharusnya
kekuasaan dilaksanakan. Dan ini tidak dimiliki pasar.
Tujuan pokok SAPs ini adalah mengupayakan
agar Negara-negara Dunia Ketiga membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya
korporasi-korporasi transnasional untuk memperoleh akses tenaga kerja dan
sumber-sumber daya alam mereka, memperkecil peran pemerintah, menggantungkan
pendistribusian berbagai sumber daya alam dan pelayanan sepenuhnya pada
kekuatan pasar, dan mengintegrasikan negara-negara miskin tersebut ke dalam
perekonomia global (Kevin Danaher, 2005).
Akibat yang ditimbulkan oleh ketiga lembaga
ini, IMF, Bank Dunia, dan WTO adalah membangkrutkan banyak usaha kecil dan
menengah di negara-negara sedang berkembang yang berujung pada pengangguran.
Kondisi ini belum termasuk bagaimana negara secara sistematis menghancurkan
gerakan buruh, dan memangkas kesejahteraan mereka demi mengundang investasi.
Kegagalan pasar neoliberal dalam mengurangi
laju kemiskinan yang bahkan membuatnya menjadi lebih buruk karena kemiskinan
pada dasarnya merupakan persoalan kelembagaan. Oleh karena itu untuk
memecahkannya harus secara kelembagaan pula. Kelembagaan disini dimaknai
sebagai regulasi perilaku atau aturan yang secara umum diterima anggota suatu
kelompok sosial yang pelaksanaannya diawasi secara internal (self-policed)
maupun eksternal (external authorithy). Kemudian jika solusi kelembagaan ini
ingin dijadikan alternative pemberantasan kemiskinan, maka tantangan
terbesarnya adalah menciptakan Negara dan birokrasi yang efektif. Meskipun Bank
Dunia mempunyai agenda untuk pemberantasan kemiskinan, tetapi ieologi yang
bersemayam dalam lembaga itu kontraproduktif atas pemberantasan kemiskinan dan
kesenjangan. Sebaliknya SAPs yang menjadi prioritas utama Bank Dunia dalam
memberikan bantuan untuk Negara-negara miskin menjadi akar penyebab kemiskinan
yang semakin luas. Ketiadaan perhatian dan komitmen kuat inilah yang membuat
target Milenium Development Goals (MDGs) sulit terlampaui pada 2015. MDGs
merupakan suatu bentuk komitmen Negara-negara di dunia untuk mengambil berbagai
langkah guna mengatasi kemiskinan global.
Sebagai usaha untuk mengentaskan
kemiskinan, MDGs ini berisi delapan tujuan pokok, yakni (1) memberantas
kemiskinan dan kelapan ekstrem; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua;
(3) mendorong kesetaraan gender dan perempuan; (4) menurunkan angka kematian
anak; (5) meningkatkan kesehatan ibu; (6) memerangi HIV/AIDS, malaria serta
penyakit lainnya; (7) melestarikan kelestarian lingkungan hidup; (8) dan
mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
WTO yang sekarang lebih luas dalam bentuk
Free Trade Area (FTA) akan semakin membuat negara-negara berkembang berada
dalam posisi sulit untuk mencapai tujuan MDGs. Jika tujuan MDGs tidak tercapai,
maka demikian halnya dengan usaha memberantas kemiskinan. Sejarah menunjukkan
bahwa tidak ada satu pun Negara yang bisa terbebas dari kemiskinan jika hanya mengandalkan
bantuan luar negeri dan utang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar