Rabu, 13 November 2013

KEMISKINAN DAN KESENJANGAN GLOBAL

Pengurangan angka kemiskinan telah menjadi “top priority” dalam pembangunan internasional, namun kemiskinan dan juga kesenjangan masih tetap menjadi persoalan yang belum bisa dipecahkan secara memuaskan.

Di beberapa kawasan, memang terjadi laju pengurangan kemiskinan  yang signifikan, tapi di tempat-tempat lain, seperti kawasan sub-Sahara Afrika pengurangan laju kemiskinan hampir stagnan. Ini terjadi karena wilayah-wilayah tersebut kurang menarik bagi investasi sehingga pertumbuhan ekonomi relatif kecil.

Bank Dunia melaporkan bahwa lebih dari 80% penduduk dunia hidup di negara-negara di mana kesenjangan semakin lebar, dan UNICEF melaporkan bahwa 24.000 bayi meninggal setiap harinya karena kemiskinan.


Hampir semua pemerintahan, lembaga internasional, dan juga banyak pihak di dunia menganut pandangan orthodok dalam usahanya mendefinisikan kemiskinan. Menurut konsepsi orthodok, kemiskinan dilihat sebagai situasi di mana orang-orang tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli makanan atau kebutuhan-kebutuhan dasar mereka secara memuaskan, dan seringkali kondisi ini dimasukkan ke dalam siatuasi un-or underemployed (Caroline Thomas, 2005). Barangkali, cara pandang inilah yang mendorong pemerintahan SBY untuk memberikan cash money kepada masyarakat miskin sebagai kompensasi atas kenaikan bahan bakar minyak (BBM).

Piven dan Cloward (1993) dan juga Swanson (2001) mendefinisikan kemiskinan berhubungan dengan kekurangan materi, rendahnya penghasilan, dan adanya kebutuhan sosial. Lebih lanjut David Cox (2004) mengemukakan beberapa dimensi kemiskinan yang dikategorikan berdasar akar penyebab munculnya kemiskinan. Pertama, kemiskinan yang disebabkan globalisasi. Kedua, kemiskinan akibat pembangunan. Ketiga, kemiskinan sosial. Keempat, kemiskinan konsekuensial.

Structural Adjustment Programs (SAPs) dan Kemiskinan
Structural Adjustment Programs (SAPs) yang didesakkan IMF dan Bank Dunia menjadi penyebab menajamnya kemiskinan dan kesenjangan. SAPs ini bersandar pada ideologi neoliberal. Ada dua penyebab mengapa neoliberalisme dianggap sebagai biang kegagalan pembangunan sebagaimana selama ini sering ditimpakan kepada negara-negara sedang berkembang. Pertama, basis neoliberal adalah kompetisi. Padahal, kompetisi hanya akan berlangsung secara adil jika masing-masing partisipan mempunyai kapasitas dan start yang sama. Ideologi pasar bebas neoliberalisme tidak pernah mempersoalkan dari mana sebuah industri berangkat, dan sudah pada taraf seperti apakah industri itu. Akibatnya, yang menang akan menangguk keuntungan besar, sedangkan yang kalah akan terus merugi.

Kedua, adalah pembelaan atas pasar telah membuat peran negara dalam pembangunan menjadi sedemikian marginal. Konsekuensi dari pandangan ini membuat negara tidak diizinkan campur tangan dalam perekonomoan karena pasarlah satu-satunya mekanisme paling baik dalam mendorong produksi, distribusi, dan konsumsi. Peran negara diamputasi, padahal hanya negara yang mempunyai sumber daya untuk menangai krisis apabila terjadi dan memiliki hokum konstitusi dan mekanisme demokratis bagaimana seharusnya kekuasaan dilaksanakan. Dan ini tidak dimiliki pasar.

Tujuan pokok SAPs ini adalah mengupayakan agar Negara-negara Dunia Ketiga membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya korporasi-korporasi transnasional untuk memperoleh akses tenaga kerja dan sumber-sumber daya alam mereka, memperkecil peran pemerintah, menggantungkan pendistribusian berbagai sumber daya alam dan pelayanan sepenuhnya pada kekuatan pasar, dan mengintegrasikan negara-negara miskin tersebut ke dalam perekonomia global (Kevin Danaher, 2005).

Akibat yang ditimbulkan oleh ketiga lembaga ini, IMF, Bank Dunia, dan WTO adalah membangkrutkan banyak usaha kecil dan menengah di negara-negara sedang berkembang yang berujung pada pengangguran. Kondisi ini belum termasuk bagaimana negara secara sistematis menghancurkan gerakan buruh, dan memangkas kesejahteraan mereka demi mengundang investasi.

Kegagalan pasar neoliberal dalam mengurangi laju kemiskinan yang bahkan membuatnya menjadi lebih buruk karena kemiskinan pada dasarnya merupakan persoalan kelembagaan. Oleh karena itu untuk memecahkannya harus secara kelembagaan pula. Kelembagaan disini dimaknai sebagai regulasi perilaku atau aturan yang secara umum diterima anggota suatu kelompok sosial yang pelaksanaannya diawasi secara internal (self-policed) maupun eksternal (external authorithy). Kemudian jika solusi kelembagaan ini ingin dijadikan alternative pemberantasan kemiskinan, maka tantangan terbesarnya adalah menciptakan Negara dan birokrasi yang efektif. Meskipun Bank Dunia mempunyai agenda untuk pemberantasan kemiskinan, tetapi ieologi yang bersemayam dalam lembaga itu kontraproduktif atas pemberantasan kemiskinan dan kesenjangan. Sebaliknya SAPs yang menjadi prioritas utama Bank Dunia dalam memberikan bantuan untuk Negara-negara miskin menjadi akar penyebab kemiskinan yang semakin luas. Ketiadaan perhatian dan komitmen kuat inilah yang membuat target Milenium Development Goals (MDGs) sulit terlampaui pada 2015. MDGs merupakan suatu bentuk komitmen Negara-negara di dunia untuk mengambil berbagai langkah guna mengatasi kemiskinan global.

Sebagai usaha untuk mengentaskan kemiskinan, MDGs ini berisi delapan tujuan pokok, yakni (1) memberantas kemiskinan dan kelapan ekstrem; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua; (3) mendorong kesetaraan gender dan perempuan; (4) menurunkan angka kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan ibu; (6) memerangi HIV/AIDS, malaria serta penyakit lainnya; (7) melestarikan kelestarian lingkungan hidup; (8) dan mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.


WTO yang sekarang lebih luas dalam bentuk Free Trade Area (FTA) akan semakin membuat negara-negara berkembang berada dalam posisi sulit untuk mencapai tujuan MDGs. Jika tujuan MDGs tidak tercapai, maka demikian halnya dengan usaha memberantas kemiskinan. Sejarah menunjukkan bahwa tidak ada satu pun Negara yang bisa terbebas dari kemiskinan jika hanya mengandalkan bantuan luar negeri dan utang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar